Salam Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa
Mungkin belum banyak yang mengenal sosok Dewan Pemrakarsa PCTA Indonesia, kali ini pada sebuah kesempatan yang berbahagia karena Dewan Pemrakarsa PCTA Indonesia, Rama Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi berulang tahun yang ke 90 pada tanggal 14 Oktober 2018.
Sebagai keluarga besar PCTA Indonesia, kita semua patut bersyukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, hingga di usia Dewan Pemrakarsa yang ke 90 ini, beliau masih bisa mendampingi seluruh aktivitas dari Organisasi PCTA Indonesia.
Sekilas tentang perjalanan hidup Rama Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi semoga bisa memberikan banyak sekali pelajaran bagi kita semua dalam kegiatan berorganisasi dan kehidupan masing masing.

Kyai Muchtar Mu’thi lahir pada ahad kliwon tanggal 28 Robiul Akhir 1347 H atau tanggal 14 Oktober 1928, di Dukuh Losari Rowo, Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Kyai Muchtar Mu’thi adalah putra ke-6 dari pasangan Haji Abdul Mu’thi dan Nyai Nasichah. Pasangan haji Abdul Mu’thi dan Nyai Nasichah dikaruniai 11 anak, lima orang putra dan enam orang putri. Sebelumnya, Haji Abdul Mu’thi juga pernah menikah dengan Nyai Marfu’ah. Bersama dengan Nyai Marfu’ah ini, Haji Abdul Mu’thi dikaruniai enam orang anak sehingga jumlah anak dari Haji Abdul Mu’thi yaitu 17 orang.
Semasa kecilnya, anak ke 12 dari Haji Abdul Mu’thi yaitu Kyai Muchtar Mu’thi menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ngelo yang tempatnya berada disebelah selatan Desa Losari. Jarak antara Desa Losari dengan Sekolahan MI Ngelo sekitar 2 KM. Masa belajar di MI Ngelo harus berakhir karena sekolahan tersebut dibubarkan oleh Jepang. Pada sekitar usia 15 tahun, barulah Kyai Muchtar memasuki dunia pendidikan baru yaitu di Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. Ketika Kyai Muchtar berada di Pesantren Daarul Ulum, kepandaiannya ternyata melebihi dari teman-temannya yang terlebih dahulu nyantri disana. Akan tetapi, karena nyantri bukan termasuk cita-cita atau harapan Kyai Muchtar, maka tampak ketidak sungguhannya selama berada di Pesantren Darul Ulum.
Setelah di Pesantren Darul Ulum selama enam bulan, Kyai Muchtar pindah ke Pesantren Bahrul Ulum, di Tambak Beras, Jombang. Sebagaimana di Pesantren Darul Ulum, Kyai Muchtar tidak ada minat untuk mempelajari pelajaran-pelaran yang diajarkan oleh pesantren. Kyai Muchtar lebih banyak menghabiskan waktu untuk menghafal Al-Quran. Pada saat itu, Kyai Muchtar juga mengaji Kitab Taqrib (Kitab Fiqih) yang ia lakukan setelah sholat isak, mengaji Nahwu Sharaf pada waktu setelah sholat subuh, dan mengaji Tafsir Jalalain kepada Kyai Hamid setelah sholat asar. Selain itu, ia juga belajar mengikuti pengajian Fathul Mu’in (kitab Fiqih) kepada Kyai Masduqi setelah sholat dhuhur dan mengaji Sahih Buhari kepada Kyai Fattah setelah sholat magrib.
Seiring berjalannya waktu, kondisi ekonomi keluarga Abdul Mu’thi (Bapak Kyai Muchtar Mu’thi) semakin sulit dan tidak menentu. Kedua orang tua Kyai Muchtar hampir tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan Kyai Muchtar selama di Pesantren. Ketika itu, kakak Kyai Muchtar yang bernama Munaji mengambil alih peran orang tua untuk membiayai kebutuhannya selama di Pesantren. Melihat kondisi ekonomi yang seperti ini, akhirnya dengan berbagai pertimbangan Kyai Muchtar memutuskan untuk berhenti menimba ilmu di Pesantren Tambak Beras. Selanjutnya, ia hanya menjalani hari-harinya berdiam diri di rumah untuk tidak nyatri kemana-mana dan ikut membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Tidak lama setelah keluar dari Pesantren Tambak Beras, Ayah Kyai Muchtar (Haji Abdul Mu’thi) meninggal dunia, tepatnya pada hari jumat Pahing tanggal 21 Syawwal 1367 H atau 27 Agustus 1948.
Sewaktu Haji Abdul Mu’thi wafat, Kyai Muchtar telah berusia 20 tahun yang bisa dibilang relatif dewasa. Kondisi ekonomi keluarga sepeninggal ayahnya sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan pada saat ayahnya masih hidup. Kehidupan ekonomi yang semakin sulit ini, mengharuskan Kyai Muchtar untuk mengadu nasib untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan berjualan ikan asin, rokok, terasi dan sabun ke kampung-kampung tetangga.
Selama perjuangan hidupnya yang berjualan dari kampung satu ke kampung yang lain ini, Kyai Muchtar sering beristirahat di Kali Padas. Kali Padas adalah nama sungai yang letaknya berada di tengah hutan Desa Pojok Klitih. Di Tempat ini, Kyai Muchtar melakukan sholat dhuhur dan merenungi kehidupan dirinya.Pada suatu ketika, setelah hujan lebat turun di wilayah tersebut, Kyai Muchtar beristirahat di tepat biasanya dengan membawa barang dagangan berupa ikan asin yang masih sangat banyak, dan garamnya yang banyak larut terkena air. Padahal barang tersebut merupakan bukan miliknya sendiri, melainkan barang titipan dari orang lain.
Dengan kondisi fisik dan psikis yang sangat lelah ini, Kyai muchtar melakuakan mandi dan sholat subuh di Kali Padas. Pada saat itu, terlintas dipikirannya keadaan ekonomi yang ia alami. Begitu sulitnya masalah ekonomi yang dideritanya ini, tidak kunjung ada solusi terbaik didalam hidupnya. Suatu pertanyaan muncul dari pikirannya ; “Mengapa kemiskinan terus hinggap pada diri saya dan keluarga?”. Pertanyaan tersebut dijawab sendiri ; “Ya, mungkin ini karena ketiadaan modal usaha, sehingga bisa mengembangkan dagangan yang ada”. Tidak lama berselang, pertanyaan kedua pun muncul ; “Ya Tuhan, mengapa nasib kami tetap miskin, padahal kami telah berusaha keras masuk kampung keluar kampung, tak kenal siang dan malam untuk menjajakan dagangan ikan asin dan barang-barang yang lain. Bahkan kami untuk menambah keuntungan kami harus pergi dimalam hari ke Alas Ngapus hanya untuk mengambil dagangan garam yang akan kami jual di rumah”.
Setelah itu, Kyai Muchtar mencoba membandingkan keadaan tetangganya yang serba kecukupan dengan dirinya yang sejak kecil mengalami kesusahan. “Mungkinkah orang yang banyak harta akan merasakan sebagaimana yang saya rasakan? Mungkinkah mereka yang didalam kesengsaraan juga akan merasakan kegembiraan sebagaimana yang dialami oleh orang-orang kaya? Adilkah semua itu? Apakah kehidupan manusia selalu diwarnai dengan kesengsaraan ataukah kegembiraan, ataukah keduanya berkumpul menjadi satu? Kalau kesulitanekonomi yang hinggap pada diri kami ini adalah suratan takdir, mengapa takdir terhadap kami berbeda dengan takdir terhadap orang lain?”
Pertanyaan pun berlanjut ; “kalau benar bahwa kehidupan ini adalah suratan takdir, betapa kejamnya Allah SWT yang telah mentakdirkan hidup ini harus terus mengalami”. Pertanyaan demi pertanyaan yang terus keluar tersebut akhirnya ia jawab sendiri, “Ya… diterima sajalah, memang ini adalah suratan takdir, jangan terlalu banyak menuntut Tuhan”.
Jawaban sepontanitas tadi belum bisa memecahkan masalah dan memuaskan hatinya, akhirnya pertanyaan-pertanyaan pun kembali muncul ; “Jika demikian, apa artinya hidup ini jika harus sengsara? Mengapa tidak semua orang ditakdirkan Allah SWT bisa menjalani hidup dengan gembira? Bukankah demikian tidak sulit bagi Allah SWT? Atau bahkan sebaliknya, mengapa semua orang tidak ditakdirkan dalam keadaan sengasara saja supaya bisa merasakan hal yang tidak enak?”. Pertanyaan pun tidak berhenti sampai disitu ; “Mengapa semuanya ini terjadi pada diri kami, terjadi pada keluarga kami dan terjadi pada orang lain? Masihkah keberadaan kami yang penuh dengan kesengsaraan ini berguna bagi diri dan orag lain? Masih bergunakah saya hidup di dunia ini? Untuk apakah saya hidup di dunia ini? Kalau memang hidup saya tidak berguna lebih baik cukupkanlah hidup ini sampai disini saja Ya Allah!”.
Dari momen tersebut, Kyai Muchtar mulai menelusuri alam pikirannya untuk menemukan jawaban masalah hidup dan kehidupan. Akhirnya, hatinya bergerak menuju suatu getaran rasa sadar bahwa ilmu yang selama ini ia peroleh hanyalah sia-sia. Setelah itu, muncullah rasa tekad dalam hati untuk meninggalkan tata cara hidup yang sudah dijalani selama ini dan menuju pada satu arah untuk mencari rahasia hidup yang hakiki.
Kyai Muchtar mulai menyadari bahwa bermacam – macam ilmu yang telah dipelajari ternyata hanya berkutat pada hal-hal yang tidak substansial. Ibarat buah, ilmu-ilmu diluar tasawuf itu ibarat kulit sedangkan isinya adalah tashawuf. Kyai Muchtar mulai memelajari lmu tashawuf dimulai dengan keikutsertaannya dalam Tarekat Naqsambandiyah yang dipimpin oleh Kyai Ali Muntoha dan Tarekat Qodiriyah serta Tarekat Akmaliyah. Setelah mengikuti ketiga Tarekat tersebut, kemudian Kyai Muchtar bergabung dengan Tarekat Anfasiyah.
Pada tahun 1951-an Kyai Muchtar melakukan pertualangan dan berkelana menyusuri Pulau Jawa yang dilakukannya mulai dari pesisir pulau Jawa sebelah Utara sampai pesisir Selatan Jawa. Pengembaraan ini dimulai dari daerah Cerme Gresik, kemudian Ujungpangkah, Bejagung, Asmorokondi (Lamongan), terus ke barat sampai di Banten. Perjalanan panjang ini, Kyai Muchtar bertemu dengan banyak Ulama’ khususnya ulama-ulama sufi. Salah satu ulama sufi yang ditemuinya yaitu Syeikh Syu’eb. Kyai Muchtar Mu’thi pertama kali dibaiat oleh Syeikh Syu’eb di Kaseman Banten. Dari Syeikh Syu’eb inilah Kyai Muchtar mendapatkan pelajaran Tarekat Kholwatiyyah dan nantinya berubah menjadi Tarekat Shiddiqiyyah. Kaitan antara Tarekat Kholwatiyyah dengan Tarekat Shiddiqiyyah yaitu kedua tarekat tersebut sama-sama berasal dari Abu Bakar As Shiddiq. Penamaan tarekat selalu berubah-ubah sesuai dengan nama pemimpinnya. Kyai Muchtar Mu’thi pada saat itu mendapat amanat dari Syeikh Syu’eb untuk mengembalikan nama Tarekat Kholwatiyyah menjadi Tarekat Shiddiqiyyah.
Dalam sejarah awal Organisasi PCTA Indonesia, beliau Rama Kyai Muchammad Muchtar Mu’thi memprakarsai untuk menyelenggarakan seminar warisan Mpu Tantular, kitab “SUTASOMA” . Dimana dalam kitab Sutasoma ini termaktub kata-kata yang diabadikan dalam lambang negara Indonesia yaitu, ” Bhinneka Tunggal Ika “, “Berbeda beda tapi satu jua”.
Kemudian prakarsa ini ditindak lanjuti oleh Pesantren Majma’al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyah, desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang dan diselenggarakan ” Seminar Sutasoma Dalam Konteks Peningkatan Cinta Tanah Air “, pada Kamis 20 Juli 2006.
Hingga pada tanggal 21 Maret 2010 Organisasi PCTA Indonesia ini, dideklarasikan di Pendopo Agung Trowulan Kabupaten Mojokerto Jawa Timur.
Beberapa wujud kecintaan seorang Rama Kyai Muhammad Muchtar Mu’thi kepada Tanah Air Indonesia ini disampaikan dengan kesungguhan ucapan hatinya, antara lain :
SAYA ORANG INDONESIA BERAGAMA ISLAM
BUKAN ORANG ISLAM DI INDONESIA
Saya tidak rela Indonesia di injak-injak, apapun agamanya.
Bahkan pada saat Perayaan Ulang Tahun PCTA Indonesia yang ke 6 di Taman Mini Indonesia Indah beliau menyampaikan sebuah harapan , bahwa Indonesia bisa menjadi sebuah Taman yang besar, tidak mini terus.
” Selamat Ulang Tahun ke 90 Rama Kyai Tar, kami berdoa kiranya Allah menyertai Rama Kyai selalu dalam kehidupan.”
Kami belum dapat memberikan kado terindah untuk Rama Kyai, tapi semoga setiap semangat dan cinta Rama Kyai untuk Indonesia Raya yang selalu ditanamkan di setiap diri kami yang hendak diwujudkan dan selalu diperjuangkan, menjadi kado terindah bagi dan dari Rama Kyai untuk Bangsa dan Negeri Indonesia tercinta ini dengan semangat Persaudaraan, Cinta, serta manunggalnya keimanan dan kemanusiaan dalam setiap insan Indonesia.
Sumber :
Daftar Pustaka
- Nasih, A. Munjin. 2006. Sepenggal Perjalanan Hidup Sang Mursyid : Kyai Muchammad Muchtar Bin Haji Abdul Mu’thi. Jombang: Al Ikhwan
- Pranoto dkk, 2015. Sejarah Shiddiqiyyah – Fase Pertama : Kelahiran Kembali Nama Tarekat Shiddiqiyyah. Jakarta : Aspeka Pratama
- Majalah Al Kautsar edisi 23
- Mauidhoh Khasanah Sang Mursyid, Bpk Kyai Muchammad Muchtar Mu’thi pada pengajian Khaul Mas Nuzlal Muntashir, 25-Muharrom 1437H / 7 Nopember 2015M
- Sekretariat Jendral DPP PCTA Indonesia – Profil Dewan Pemrakarsa
- http://www.setiawanbudi.com/2017/07/jawaban-terkait-masalah-hidup-dan.html